Oleh Muhaimin Iqbal |
Kamis, 27 October 2011 10:05 |
Di New York Amerika Serikat konon ada fenomena yang sudah berjalan setengah abad hingga kini (sejak 1960) bahwa harga sepotong pizza selalu sama dengan harga tiket kereta bawah tanah di kota itu, bila salah satunya naik duluan maka yang lain menyusul segera. Fenomena yang kemudian disebut Pizza Principle atau Pizza Connection ini sebenarnya bukan realita yang aneh atau kebetulan, barang atau jasa yang sifatnya riil akan cenderung naik beriringan yang dipengaruhi oleh faktor yang sama yaitu inflasi. Inflasi akan mempengaruhi harga barang dan jasa secara paralel atau kenaikan yang sama untuk seluruh barang dan jasa yang tidak mengalami perubahan perimbangan dalam supply and demand-nya. Fenomena yang lebih otentik dan sudah berlangsung lebih dari 1400 tahun adalah hubungan antara harga kambing kwalitas baik dengan Dinar yang cenderung sama yaitu satu kambing kwalitas baik setara satu Dinar. Secara jangka panjang stabilitas ini bisa dibuktikan, tetapi tidak berarti dalam jangka pendek kondisinya pasti selalu sama. Mengapa demikian ?, ya faktor supply and demand itu tadi yang mempengaruhinya. Untuk beberapa tahun terakhir ini kenaikan harga emas cenderung lebih tinggi dari harga kambing karena demand emas yang tumbuh dari segala penjuru, sementara kambing tetap terus di-kambing hitamkan sehingga untuk memakannya-pun orang takut. Tetapi saya sendiri yakin kesetaraan satu Dinar satu kambing yang sudah berjalan lebih dari 1400 tahun ini akan tetap demikian untuk jangka panjang hingga akhir zaman. Bahwa realitanya saat ini satu Dinar lebih tinggi harganya ketimbang 1 ekor kambing kelas baik, ada dua kemungkinannya yaitu harga Dinarnya yang kemahalan atau harga kambingnya yang kemurahan. Kemungkinan yang pertama harga Dinar atau emas kemahalan, sangat bisa jadi karena beberapa bulan terakhir memang naik secara tidak wajar dipicu oleh kepanikan global atas krisis keuangan yang meluas. Satu krisis belum selesai muncul krisis berikutnya, satu kawasan belum pulih – kawasan lain baru mulai dst. Kemungkinan kedua-pun sangat bisa jadi, karana pencitraan kambing yang begitu buruk di jaman ini; hal-hal negatif selalu dinisbatkan terhadap kambing seperti ‘kambing hitam’, kambing congek, kelas kambing, bau kambing, kolesterol dlsb. Dampak dari pencitraan ini yang membuat pasar dan industri kambing tidak tumbuh, diluar Iedhul Adha nyaris tidak ada pergerakan pasar kambing yang berarti. Padahal pasti bukan kebetulan kalau seluruh nabi menggembala kambing dan profesi yang akan ada hingga akhir jaman juga salah satunya adalah penggembala kambing, maka sangat mungkin ada potensi yang luar biasa tentang kambing ini yang mungkin akan mendongkrak harganya kedepan mengejar harga Dinar – sama dengan kejar mengejarnya harga pizza dan tiket kereta bawah tanah tersebut diatas. Tetapi apa perlunya kita tahu korelasi kenaikan harga-harga barang dan jasa tersebut diatas ? ada kesamaan yang terang benderang yang sering kita abaikan yaitu pertama semua harga barang dan jasa cenderung naik bersamaan oleh inflasi, kedua adalah harga barang dan jasa akan naik karena pertumbuhan demand. Maka bila kita gagal mengantisipasinya dengan meningkatkan penghasilan dan mempertahankan daya beli uang kita; kesejahteraan kita dan juga anak cucu kita akan mengalami penurunan. Sebaliknya bila kita tahu barang dan jasa apa yang nilainya akan meningkat, atau yang demand-nya akan melebihi supply-nya kedepan maka pengetahuan ini bisa menjadi pembeda siapa-siapa yang bisa menangkap peluang dan siapa yang menjadi korban kenaikan harga . Karena kita tidak hidup di New York dan mungkin juga tidak suka makan pizza; kita bisa mulai amati pergerakan harga kambing, harga emas, harga beras, harga bensin, biaya layanan kesehatan, biaya pendidikan dst. mana yang menjadi ancaman kemakmuran dan mana yang menjadi peluang kita. Wa Allah A’lam |
Jumat, 28 Oktober 2011
Pizza Principle, Goat and Gold Connection...
Kamis, 27 Oktober 2011
Aksi Occupy Wall Street (OWS/Pendudukan Wall Street) Merambah Brasil
REPUBLIKA.CO.ID
Aksi Occupy Wall Street (OWS/Pendudukan Wall Street) di New York kini merambah Rio de Janeiro yang merupakan kota terbesar kedua Brasil. Sekitar 150 aktivis membentangkan tulisan-tulisan dan slogan-slogan anti-kapitalisme pada Rabu (26/10) waktu setempat.
Salah satu aksi dalam demonstasi 'Occupy Rio'
"Tahun 2012 Adalah Akhir dari Dunia Kapitalis," bunyi salah satu tulisan. "Mengapa dunia untuk semua orang, tapi begitu banyak orang yang lapar?" bunyi satu tulisan lainnya bernada tanya.
Aksi yang diberi nama 'Menduduki Rio' itu terinspirasi oleh demonstrasi serupa di Spanyol dan Amerika Serikat.
Para aktivis terinspirasi oleh protes "kemarahan" yang merebak di Madrid. Demonstran "Pendudukan Wall Street" di New York juga ikut menulari aksi 'Menduduki Rio'.
Para demonstran selama akhir pekan ini berkemah di tenda-tenda di Plaza Cinelandia. "Tindakan ini tidak cukup untuk memerangi gejala tanpa mengatasi penyebabnya," kata seorang pengunjuk rasa perempuan yang lulusan studi lingkungan. "Penyebab sebagian besar masalah dunia kita adalah sistem kapitalis."
Para pengunjuk rasa Brazil kebanyakan berasal dari sekolah menengah dan mahasiswa. Ada juga para anggota partai-partai kiri. Banyak di antaranya menjalin kontak langsung secara online dengan aksi-aksi protes serupa di seluruh dunia.
Para pengunjuk rasa Brazil juga marah atas pengambilalihan paksa untuk membangun infrastruktur bagi Piala Dunia 2014 dan Olimpiade 2016 serta pembangunan bendungan raksasa Belo Monte di wilayah negara bagian Amazon, Para.
Kelompok sejenis juga berkemah di pusat kota Sao Paulo, ibu kota industri dan keuangan Brazil, sejak 15 Oktober lalu.
bagi kita yang telah mengenal dinar dan dirham sudah memiliki solusi yang tepat yaitu menggunakan dinar dan dirham sehingga terbebas dari krisis finansial.
Rabu, 26 Oktober 2011
Biduk Besar Berani Melawan Ombak, Tetapi Kayu Kecil Yang Sampai Ke Pantai…
Oleh Muhaimin Iqbal |
Rabu, 26 October 2011 06:06 |
Di puncak krisis 2008, tepatnya tanggal 17 October 2008 di blog saya yang lama saya menulis tentang Tahap-Tahap Krisis Dan Pengaruhnya Pada Harga Emas. Saat tulisan tersebut saya buat harga emas berada pada angka US$ 800-an/Ozt, tetapi saya menggambar grafik seperti pada gambar dibawah yang menggambarkan harga emas akan menjualang tinggi pasca krisis saat itu. Kini tiga tahun kemudian, harga emas berada pada kisaran US$ 1,700-an atau lebih dari dua kalinya. Kebetulan kah ? Tidak ada yang kebetulan di dunia ini… Pasar dalam bentuk apapun terdiri dari sekumpulan manusia yang berbeda kebutuhan, kemudian dari perbedaan inilah manusia saling memenuhi kebutuhannya. Yang satu ingin menjual dan yang lain ingin membeli. Dari keinginan untuk menjual (supply) yang bertemu keinginan untuk membeli (demand) inilah harga terbentuk. Karena perilaku manusia ini bisa dipelajari, semakin banyak jumlah orang yang terlibat semakinpredictable – inilah yang disebut law of large number atau hukum bilangan besar. Dari law of large number perilaku para pelaku pasar emas misalnya dapat kita visualisasikan menjadi grafik tersebut diatas. Harga emas sekarang menjadi sangat tinggi dibandingkan harga tahun 2008 , ya karena perilaku manusia pencetak uang (yang merespresentasikan demand), mencetak uang kertas yang berlebihan – yang semuanya predictable dalam krisis saat itu. Tetapi masalahnya adalah yang terjadi di pasar bukan hanya karena pengaruh satu factor saja; begitu banyak factor lain yang tidak semuanya kita ketahui. Jadi meskipun sesuatu itu predictablesekalipun- hasil pastinya memang tidak ada satu manusia-pun yang bisa membuat prediksi yang akurat. Waktu kemudian yang akan memberitahu kita bahwa prediksi kita akhirnya betul, sedikit betul atau salah sama sekali. Wa Allahu A’lam ; hanya Allah-lah yang Maha Mengetahui. Untuk krisis yang sekarang saja misalnya; prediksi kedepannya menjadi lebih rumit dari krisis 2008 yang epicentrum-nya hanya satu yaitu ekonomi Amerika yang saat itu gonjang-ganjing yang pemicu awalnya adalah sub-prime mortgage. Saat ini ada setidaknya dua pemicu besar yaitu krisis hutang di Amerika (Trigger 1) yang sebelum mereda sudah disusul oleh pemicu besar yang lain yaitu ancaman default-nya beberapa negara di Uni Eropa (Trigger 2). Dampak krisis yang susul menyusul ini pada emas ( dan juga komoditi lainnya) dapat divisualisasikan seperti pada garfik dibawah. Ketika Trigger 1 belum tuntas memasuki periode penurunan harga, Trigger 2 menyusulnya sehingga menggeser waktu penurunannya. Maka melihat krisis demi krisis tersebut seperti kita melihat ombak yang susul menyusul, sekuat apapun biduk besar bila melawan arus ombak tersebut dia akan tergulung – inilah yang terjadi di ekonomi Amerika dan kini Eropa. Sebaliknya, sebilah kayu kecil dapat menyelamatkan orang yang berpegangan kayu tersebut dan mengikuti kemana arah ombak membawanya. Karena ombak akan berakhir di pantai, maka sebilah kayu tersebut juga akan mengantarkan orang yang memegangnya sampai ke pantai. Biduk besar yang melawan arus tersebut adalah ekonomi kapitalisme ribawa yang memang sudah dijanjikan kehancurannya oleh Sang Maha Pencipta (QS 2 : 275 – 276). Adapun sebilah kayu kecil untuk berpegangan mengikuti arus ombak ini adalah inisitif-inisiatif kecil untuk kembali pada syariatNya dalam hal uang yang nilai daya belinya stabil sepanjang jaman, dalam hal pasar yang adil dan dapat diakses oleh semua orang, dalam hal sumber-sumber daya yang dikelola untuk dimakmurkan bukan untuk sekedar dikuasai dlsb. Bayangkan bila siklus seperti pada grafik pertama diatas terbukti benar kembali dan berulang dalam tiga tahun ini dan dengan komplikasi grafik kedua, maka daya beli uang Anda akan kembali tinggal separuh dari sekarang atau bahkan kurang. Tiga tahun ini adalah waktu yang pendek, yaitu ketika anak Anda yang sekarang kelas 1 SMP, maka ketika dia masuk SMA biayanya akan dua kali dari biaya masuk SMA sekarang. Bila sekarang kelas 1 SMA, biaya masuk perguruan tinggi akan dua kali dari biaya sekarang dst. Maka inilah perlunya Anda memilih, biduk besar yang melawan ombak – atau kayu kecil (untuk saat ini) yang akan mengantar Anda ke pantai…buktinya sudah begitu nyata !. |
Senin, 24 Oktober 2011
Awalnya Adalah Inflasi….
Oleh Muhaimin Iqbal |
Senin, 24 October 2011 08:14 |
Gerakan Occupy Wall Street di Amerika Serikat beberapa pekan terakhir sepertinya menyampaikan pesan yang serius, bahwa ada yang salah dengan system ekonomi kapitalis yang sekarang mendominasi dunia. Bahkan karena common problemkapitalisme ini pula gerakan serupa mudah menjalar ke negeri lain seperti Jerman misalnya, maka lahirlah di negeri itu gerakan Occupy Berlin. Tetapi sebenarnya bagian mananya dari kapitalisme yang diprotes oleh rakyat dunia ini ?. Dari sekian banyak cacat bawaan kapitalisme, satu yang umum dan menyengsarakan rakyat adalah inflasi. Ketika pemerintah negara-negara di dunia mencetak uangnya secara berlebihan, maka mayoritas penduduknya akan menderita karena inflasi ini. Mereka telah bekerja sekuat tenaga tetapi penghasilannya tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhannya, inilah yang membuat rakyat di Amerika marah yang kemudian menular ke negara-negara besar lainnya. Di tahun ini pula, kemarahan serupa terjadi di beberapa negara yang sampai menumbangkan pemerintahannya. Awalnya di Algeria ketika Januari lalu rakyatnya menuntut agar pemerintahnya memberikan (menurunkan harga) gula, demo ini sampai membawa 8 orang meninggal. Demo serupa ditiru di negeri tetangganya Tunisia yang berakhir dengan tumbangnya pemerintahan Ben Ali. Menular lagi ke Mesir hingga jatuhnya Hosni Mubarak, terus menular ke Libya hingga jatuhnya Ghadafi – meskipun di Libya sebenarnya inflasi bukan menjadi isu, ke Syria dengan begitu banyak korban dan belum berakhir hingga kini. Di Indonesia kita juga pernah mengalami hal yang serupa, inflasi tinggi yang membawa kejatuhan Presiden Pertama dan Kedua negeri ini. Namun sebenarnya bagi rakyat ada hal yang lebih penting ketimbang jatuhnya suatu rezim, yaitu teratasinya masalah yang mendasar yang menjadi pemicu ketidak puasan rakyat terhadap pemerintahnya – salah satunya ya inflasi itu tadi. Di Indonesia misalnya kalau ditanya rakyat kebanyakan apakah pasca 1998 kita hidup lebih baik ?, jawabannya kemungkinan besarnya adalah tidak. Mengapa demikian ?. Grafik dibawah yang mencerminkan nilai tukar atau daya beli Rupiah kita – secara tidak langsung menjelaskan hal ini. Pasca 1998 diperlukan rata-rata sekitar 4 kali lebih banyak Rupiah untuk membeli barang kebutuhan standar internasional yang dinilai dengan Dollar. Apakah penghasilan rakyat naik rata-rata 4 kali atau lebih pasca 1998 tersebut ?, saya rasa tidak. Sebagai pembanding, mengapa demo-demo yang sampai mengguncang pemerintahannya lebih kecil kemungkinannya terjadi di negeri seperti Jepang, China dan Australia ?, ya karena mereka relatif berhasil mengendalikan inflasi di negaranya. Bila rakyat makmur, mereka tidak akan peduli dengan siapa yang duduk di pemerintahannya. Demikian pula sebaliknya, bila rakyat sengsara – maka siapapun pemerintahannya akan dinilai gagal oleh rakyatnya. Bahwa rata-rata kita tidak menjadi lebih makmur pasca 1998, rakyat Tunisia tidak lebih makmur pasca rezim Ben Ali, rakyat Mesir tidak lebih makmur pasca jatuhnya Hosni Mubarak, dlsb. – adalah karena rakyat itu sendiri tidak berhasil memformulasikan target tuntutannya dengan baik. Kesalahan itu adanya pada system yang memungkinkan rakyat begitu mudah kehilangan daya beli melalui inflasi, maka siapapun pemimpinnya bila dia tidak merubah system itu – kesengsaraan akan terus berulang. Maka sebenarnya dunia tidak memerlukan transisi kepemimpinan yang memilukan seperti di Indonesia 1965, 1998; dan di tahun ini ada di Tunisia, Mesir, Libya dan entah mana lagi ; yang dibutuhkan adalah transsisi damai yang bisa merubah dari system ekonomi yang menyengsarakan ke system ekonomi yang memakmurkan. Transisinya bukan dari satu kekuasaan ke kekuasaan lain, tetapi seharusnya dari satu pemikiran ke pemikiran lainnya. Wa Allahu A’lam. |
Langganan:
Postingan (Atom)