Oleh Muhaimin Iqbal | ||
Jum'at, 11 November 2011 08:36 | ||
Enam tahun lalu ada film terkenal yang berjudul Kingdom of Heaven (2005), yang meskipun dibuat oleh orang diluar Islam – tetapi sedikit banyak menguak kebesaran kepemimpinan Islam dibawah tokohnya Shalahuddin al- Ayyubi. Dalam sejarah Islam sendiri, Shalahuddin memang salah satu tokoh yang amat sangat penting perannya karena dibawah kepemimpinannya-lah Baitul Maqdis kembali ke tangan Islam – setelah lebih dari satu genarasi berada dalam cengkeraman kaum salib . Tetapi seorang Shalahuddin bukanlah pemimpin yang ujug-ujug turun dari langit, dia adalah produk sebuah generasi. Awalnya adalah Al-Ghazzali yang hidup di jaman keterpurukan Islam itu, dia berusia sekitar sekitar 42 tahun ketika Maitul Maqdis ditaklukkan tentara salib. Maka ulama besar yang kemudian disebut sebagai Hujjatul Islam Al- Ghazzali ini men-diagnosa kondisi umat Islam saat itu, mengapa sampai bisa sedemikian terpuruknya sehingga puncaknya dengan mudah bisa ditaklukkan oleh tentara salib. Dia menemukan saat itu umat terpecah belah oleh fanatisme mazhab dan golongan, fungsi ulama berubah yang tadinya guru dan penasihat para penguasa malah menjadi alat politik dan bawahan para penguasa, dan kecintaan pada harta menimbulkan perilaku menyimpang baik cara perolehan maupun penggunaannya. Ini semua yang kemudian menimbulkan kerusakan ekonomi , sosial dan politik – yang kemudian melemahkan dunia Islam secara keseluruhan dalam menghadapi serangan-serangan kaum salib. Menghadapi kerusakan-kerusakan yang meluas saat itu, orang-orang yang tulus ingin menjaga agamanya menempuh berbagai cara. Ada yang kemudian secara pasif mengasingkan diri menjauhi pengaruh buruk dari kerusakan yang meluas; ada yang menjauh dari lingkungan yang penuh syubhat untuk dapat berbenah diri, mengevaluasi pemikiran dan konsepnya, kemudian kembali ke tengah masyarakat untuk melakukan al amr bil ma’ruf wan nahy ‘an al munkar – menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Cara yang kedua inilah yang ditempuh oleh Al-Ghazzali. Al-Ghazzali kemudian berusaha memproduksi generasi baru para ulama dan pendidik (murabbi), melahirkan system baru dalam pendidikan dan pengajaran, menghidupkan misi al amr bil ma’ruf wan nahy ‘an al munkar, mengingatkan pemerintah yang dzalim, menyerukan keadilan sosial, sampai pada memberantas aliran-aliran dan pemikiran sesat yang memang juga sudah ada saat itu. Untuk merealisasikan upaya tersebut Al-Ghazali merumuskan system pendidikan baru yang kemudian diterapkan di madrasahnya. Konsep pendidikan Al-Ghazali inilah yang kemudian diteruskan oleh Syaikh Abdul Qadir al Jilani di Madrasah Al-Qadiriyah – di pusat kota Bagdad yang memfokuskan kegiatannya pada tiga hal. Pertama pada upaya untuk mencetak lulusan yang siap memegang tampuk pimpinan perjuangan Islam dan menyebarkan misi al amr bil ma’ruf wan nahy ‘an al munkar, kedua membangun koordinasi antar madrasah dan ketiga membuat modul , strategi, program pendidikan dan dakwah. Dari upaya penyiapan generasi baru yang panjang melalui madrasah-madrasah tersebut-lah kemudian lahir pemimpin umat Nuruddin Zanki yang kemudian melahirkan ‘anak didik’ Shallahudin Al –Ayyubi. Diperlukan waktu sekitar 90 tahun sejak suatu generasi dipersiapkan, sampai menghasilkan buahnya yang sekaliber Shalahuddin ini. Suatu masa keterpurukan yang panjang yang mendahului lahirnya generasi Shalahuddin tersebut sesungguhnya sangat mirip dengan apa yang kita alami di jaman ini. Kini umat Islam terpecah bukan hanya oleh mazhab, golongan dan aliran; tetapi juga oleh partai-partai. Dampak perpecahan ini berakibat serius pada hubungan politik, sosial, peribadatan dan sampai pula pada ekonomi. Kita menjadi terlalu lemah untuk bisa melawan isu-isu yang seharusnya bisa dihadapi bersama seperti perusakan aqidah, pemurtadan dan penguasaan/penjajahan umat oleh kekuatan di luar Islam baik dibidang poltik, pemikiran, budaya dan tentu yang paling dasyat ekonomi. Sesungguhnya di negeri ini sudah pernah diupayakan perubahan serupa dengan yang dilakukan oleh Al-Ghazzali yang sampai melahirkan generasi Shalahuddin – tetapi dalam tingkatan yang lebih sederhana. Konon sekitar tahun 1500-an Sunan Kudus merumuskan suatu generasi yang hendak dihasilkannya yang disebut generasi Gusjigang – yang artinya berperilaku bagus, pandai mengaji dan pandai pula berdagang. Target pencapaian generasi yang Gusjigang ini pulalah yang menjelaskan antara lain mengapa masjid Kudus berada di dekat pasar. Kalau toh target penyiapan generasi sekwalitas generasi Shalahuddin perlu waktu yang lebih panjang dan effort yang luar biasa dari seluruh komponen umat yang mau bersatu, barangkali kita bisa mulai dengan yang kita bisa di lingkungan kita. Mengajari anak-anak dan remaja di sekitar untuk beraklak bagus, melalui cara mengaji (termasuk pemahaman dan pengamalannya tentu saja), sambil juga diajari berdagang – maka insyaallah perjalanan panjang perbaikan generasi ini akan juga bisa kita mulai, selebihnya kita serahkan kepadaNya, sampai dimana nanti perbaikan ini akan menghasilkan buahnya yang berarti. InsyaAllah… |
Jumat, 11 November 2011
Mencita-citakan Generasi Shalahuddin, Mulai Dari Generasi Gusjigang…
Rabu, 09 November 2011
Merebaknya Gelombang Protes
Hari-hari ini, pemerintahan yang berdasar atas uang tak lagi cukup.
VIVAnews - Gelombang protes yang bermula di Tunisia pada Januari lalu segera menyambar Mesir dan Spanyol sebelum akhirnya meluas ke seluruh dunia. Demonstrasi di berbagai kota Amerika Serikat, yang dipicu oleh aksi mengeluhkan Wall Street, merupakan salah satu bentuknya.
Globalisasi dan teknologi mutakhir kini memungkinkan gerakan sosial yang mendobrak batas-batas teritorial. Dan di mana pun, protes sosial menemukan lahan subur: suatu perasaan bahwa "sistem" telah gagal serta keyakinan bahwa bahwa di dalam demokrasi proses pemilihan umum (electoral process) takkan memperbaiki keadaan. Setidaknya, jika proses itu tak mendapat tekanan dari demonstran.
Pada bulan Mei, saya mengunjungi medan protes Tunisia; pada bulan Juli, saya berbincang-bincang dengan massa yang marah di Spanyol; selepas itu, saya menemui para pemuda revolusioner Mesir di Alun-alun Tahrir, Kairo. Beberapa pekan lalu, saya membuka dialog dengan para demonstran gerakan Occupy Wall Street (OWS) di New York.
Ada tema seragam yang diuarkan oleh gerakan OWS. Dan tema itu sederhana: "Kami golongan 99%."
Slogan itu menggaungkan judul sebuah tulisan yang baru saja saya terbitkan: "Dari kaum 1%, untuk kaum 1%, dan oleh kaum 1%." Artikel itu menggambarkan melonjaknya ketimpangan di Amerika Serikat: 1% orang dari total populasi menguasai lebih dari 40% kekayaan negara. Pun, mereka menerima lebih dari 20% pendapatan.
Kalangan atas itu begitu banyak mendulang untung bukan karena mereka lebih banyak berkontribusi terhadap masyarakat. Kekayaan mereka berasal dari keberhasilan mereka memburu rente (rent-seeking). Kerakusan mereka menagih bonus dan dana talangan menjadi bukti.
Kaum 1% itu memang telah banyak berkontribusi bagi masyarakat. Tentu saja, keuntungan sosial yang dituai dari banyak inovasi sejati (dibandingkan dengan "produk-produk" keuangan baru yang pada akhirnya menimbulkan gonjang-ganjing ekonomi secara global) jauh lebih tinggi dari keuntungan yang didapat oleh sang pembuat inovasi.
Tapi, di seluruh dunia, pengaruh politis dan praktik anti-kompetitif (yang biasanya didapatkan lewat lobi-lobi politik) jadi sumber utama ketimpangan ekonomi. Meroketnya tren ketimpangan didukung oleh sistem perpajakan AS yang memungkinkan seorang miliarder seperti Warren Buffet membayar sedikit saja pajak dari yang harus dibayarkan oleh sekretarisnya (dalam persentase pendapatan); atau bahkan memungkinkan para spekulan, yang turut merontokkan ekonomi global, dikenakan pajak lebih kecil daripada kelompok yang bekerja demi keuntungan mereka,
Riset yang dilakukan pada beberapa tahun terakhir membuktikan betapa penting serta berurat-berakar isu tentang keadilan ekonomi. Para demonstran di Spanyol serta di negara-negara lain berhak naik darah: ada sistem yang menyebabkan para bankir diberi talangan sementara golongan yang mereka peras mesti menyelamatkan dirinya sendiri.
Yang lebih buruk lagi adalah para bankir kini telah kembali bekerja serta mendapatkan bonus yang jauh melampaui jumlah yang para pekerja lain harap bisa mereka dapatkan seumur hidupnya.
Di sisi lain, kaum muda yang belajar keras dan mengikuti aturan umum terancam takkan memiliki pekerjaan.
Meningkatnya ketimpangan adalah produk dari sebuah lingkaran setan: para pemburu rente yang kaya-raya menggunakan kekayaannya untuk memengaruhi kebijakan demi melindungi dan mendongkrak kekayaan serta pengaruh mereka.
Mahkamah Agung AS, dalam keputusan Citizens United, memberi kebebasan pada korporasi untuk menggunakan uang mereka dalam menyetir arah politik. Namun, sementara si kaya dapat menggunakan uangnya untuk meluaskan pandangan mereka, polisi tak mengizinkan saya berorasi di hadapan para demonstran gerakan OWS melalui megaphone.
Kontras antara demokrasi yang terlalu penuh aturan dan para bankir yang tak ditimpakan aturan terasa nyata. Tapi, para demonstran tetap cerdas. Mereka langsung menirukan perkataan saya, dan menggemakannya lewat kerumunan. Hasilnya, semua orang bisa mendengar. Demi menghindari interupsi tepukan tangan, mereka menggunakan isyarat tangan untuk menunjukkan dukungan.
Mereka benar ketika merasa bahwa ada yang salah dalam "sistem" kita. Di seluruh dunia, kita tak mampu mengelola sumber daya sepenuhnya - orang-orang yang menginginkan pekerjaan, mesin yang tak bekerja, bangunan-bangunan kosong - serta banyaknya kebutuhan yang tak terpenuhi: pemberantasan kemiskinan, pengembangan perekonomian, penyesuaian ekonomi demi menghindari pemanasan global, untuk menyebut beberapa saja.
Di Amerika Serikat, setelah tujuh juta rumah disita, kini jumlah rumah kosong dan tuna wisma sungguh berlimpah.
Para demonstran mendapat kritik karena dianggap tak memiliki agenda. Tapi, kritik itu tak menangkap esensi dari gelombang protes. Para demonstran adalah ekspresi frustasi proses pemilihan umum. Mereka menjelma tanda bahaya.
Protes anti-globalisasi yang dilangsungkan di Seattle pada tahun 1999 melayangkan kritik terhadap kegagalan globalisasi dan institusi internasional serta segala persetujuan yang melanggengkannya. Ketika media menilik lebih jauh kritik para demonstran, mereka menemukan secercah kebenaran.
Ada perbedaan selanjutnya terlihat dalam perjanjian-perjanjian dagang yang terjadi kemudian. Negosiasi-negosiasi itu memang ditujukan sebagai babak lanjutan demi merapikan cacat yang dikemukakan oleh para demonstran. Dana Moneter Internasional (IMF) lantas mengupayakan perbaikan-perbaikan berarti.
Di AS pula para demonstran hak-hak sipil pada tahun 1960an menyoroti rasisme yang begitu menjalar dan melembaga di tengah masyarakat AS. Warisan atas rasisme itu masih belum bisa ditanggulangi sampai sekarang. Tapi, setidaknya, terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden AS menunjukkan berapa jauh efek protes memengaruhi bangsa Amerika.
Pada taraf tertentu, kini tuntutan para demonstran tak seberapa: peluang menggunakan keahlian mereka, hak memiliki pekerjaan dan upah layak, serta masyarakat dan ekonomi yang adil. Harapan mereka sifatnya evolusi, bukan revolusi.
Namun, pada taraf lain, mereka meminta banyak: sebuah demokrasi tempat orang-orang, bukan uang, menjadi bermakna. Sekaligus, adanya ekonomi pasar yang mendorong apa yang seharusnya ia dorong.
Kedua hal barusan saling berkait. Sebagaimana kita telah saksikan, pasar bebas membawa kita kepada krisis ekonomi dan politik. Pasar hanya bekerja seperti seharusnya hanya jika ia beroperasi dalam kerangka regulasi pemerintah yang sesuai. Kerangka semacam itu hanya mungkin terwujud di tengah demokrasi yang mempertimbangkan kepentingan umum, bukan kepentingan kaum 1% belaka.
Hari-hari ini, pemerintahan yang berdasar atas uang tak lagi cukup.
Globalisasi dan teknologi mutakhir kini memungkinkan gerakan sosial yang mendobrak batas-batas teritorial. Dan di mana pun, protes sosial menemukan lahan subur: suatu perasaan bahwa "sistem" telah gagal serta keyakinan bahwa bahwa di dalam demokrasi proses pemilihan umum (electoral process) takkan memperbaiki keadaan. Setidaknya, jika proses itu tak mendapat tekanan dari demonstran.
Pada bulan Mei, saya mengunjungi medan protes Tunisia; pada bulan Juli, saya berbincang-bincang dengan massa yang marah di Spanyol; selepas itu, saya menemui para pemuda revolusioner Mesir di Alun-alun Tahrir, Kairo. Beberapa pekan lalu, saya membuka dialog dengan para demonstran gerakan Occupy Wall Street (OWS) di New York.
Ada tema seragam yang diuarkan oleh gerakan OWS. Dan tema itu sederhana: "Kami golongan 99%."
Slogan itu menggaungkan judul sebuah tulisan yang baru saja saya terbitkan: "Dari kaum 1%, untuk kaum 1%, dan oleh kaum 1%." Artikel itu menggambarkan melonjaknya ketimpangan di Amerika Serikat: 1% orang dari total populasi menguasai lebih dari 40% kekayaan negara. Pun, mereka menerima lebih dari 20% pendapatan.
Kalangan atas itu begitu banyak mendulang untung bukan karena mereka lebih banyak berkontribusi terhadap masyarakat. Kekayaan mereka berasal dari keberhasilan mereka memburu rente (rent-seeking). Kerakusan mereka menagih bonus dan dana talangan menjadi bukti.
Kaum 1% itu memang telah banyak berkontribusi bagi masyarakat. Tentu saja, keuntungan sosial yang dituai dari banyak inovasi sejati (dibandingkan dengan "produk-produk" keuangan baru yang pada akhirnya menimbulkan gonjang-ganjing ekonomi secara global) jauh lebih tinggi dari keuntungan yang didapat oleh sang pembuat inovasi.
Tapi, di seluruh dunia, pengaruh politis dan praktik anti-kompetitif (yang biasanya didapatkan lewat lobi-lobi politik) jadi sumber utama ketimpangan ekonomi. Meroketnya tren ketimpangan didukung oleh sistem perpajakan AS yang memungkinkan seorang miliarder seperti Warren Buffet membayar sedikit saja pajak dari yang harus dibayarkan oleh sekretarisnya (dalam persentase pendapatan); atau bahkan memungkinkan para spekulan, yang turut merontokkan ekonomi global, dikenakan pajak lebih kecil daripada kelompok yang bekerja demi keuntungan mereka,
Riset yang dilakukan pada beberapa tahun terakhir membuktikan betapa penting serta berurat-berakar isu tentang keadilan ekonomi. Para demonstran di Spanyol serta di negara-negara lain berhak naik darah: ada sistem yang menyebabkan para bankir diberi talangan sementara golongan yang mereka peras mesti menyelamatkan dirinya sendiri.
Yang lebih buruk lagi adalah para bankir kini telah kembali bekerja serta mendapatkan bonus yang jauh melampaui jumlah yang para pekerja lain harap bisa mereka dapatkan seumur hidupnya.
Di sisi lain, kaum muda yang belajar keras dan mengikuti aturan umum terancam takkan memiliki pekerjaan.
Meningkatnya ketimpangan adalah produk dari sebuah lingkaran setan: para pemburu rente yang kaya-raya menggunakan kekayaannya untuk memengaruhi kebijakan demi melindungi dan mendongkrak kekayaan serta pengaruh mereka.
Mahkamah Agung AS, dalam keputusan Citizens United, memberi kebebasan pada korporasi untuk menggunakan uang mereka dalam menyetir arah politik. Namun, sementara si kaya dapat menggunakan uangnya untuk meluaskan pandangan mereka, polisi tak mengizinkan saya berorasi di hadapan para demonstran gerakan OWS melalui megaphone.
Kontras antara demokrasi yang terlalu penuh aturan dan para bankir yang tak ditimpakan aturan terasa nyata. Tapi, para demonstran tetap cerdas. Mereka langsung menirukan perkataan saya, dan menggemakannya lewat kerumunan. Hasilnya, semua orang bisa mendengar. Demi menghindari interupsi tepukan tangan, mereka menggunakan isyarat tangan untuk menunjukkan dukungan.
Mereka benar ketika merasa bahwa ada yang salah dalam "sistem" kita. Di seluruh dunia, kita tak mampu mengelola sumber daya sepenuhnya - orang-orang yang menginginkan pekerjaan, mesin yang tak bekerja, bangunan-bangunan kosong - serta banyaknya kebutuhan yang tak terpenuhi: pemberantasan kemiskinan, pengembangan perekonomian, penyesuaian ekonomi demi menghindari pemanasan global, untuk menyebut beberapa saja.
Di Amerika Serikat, setelah tujuh juta rumah disita, kini jumlah rumah kosong dan tuna wisma sungguh berlimpah.
Para demonstran mendapat kritik karena dianggap tak memiliki agenda. Tapi, kritik itu tak menangkap esensi dari gelombang protes. Para demonstran adalah ekspresi frustasi proses pemilihan umum. Mereka menjelma tanda bahaya.
Protes anti-globalisasi yang dilangsungkan di Seattle pada tahun 1999 melayangkan kritik terhadap kegagalan globalisasi dan institusi internasional serta segala persetujuan yang melanggengkannya. Ketika media menilik lebih jauh kritik para demonstran, mereka menemukan secercah kebenaran.
Ada perbedaan selanjutnya terlihat dalam perjanjian-perjanjian dagang yang terjadi kemudian. Negosiasi-negosiasi itu memang ditujukan sebagai babak lanjutan demi merapikan cacat yang dikemukakan oleh para demonstran. Dana Moneter Internasional (IMF) lantas mengupayakan perbaikan-perbaikan berarti.
Di AS pula para demonstran hak-hak sipil pada tahun 1960an menyoroti rasisme yang begitu menjalar dan melembaga di tengah masyarakat AS. Warisan atas rasisme itu masih belum bisa ditanggulangi sampai sekarang. Tapi, setidaknya, terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden AS menunjukkan berapa jauh efek protes memengaruhi bangsa Amerika.
Pada taraf tertentu, kini tuntutan para demonstran tak seberapa: peluang menggunakan keahlian mereka, hak memiliki pekerjaan dan upah layak, serta masyarakat dan ekonomi yang adil. Harapan mereka sifatnya evolusi, bukan revolusi.
Namun, pada taraf lain, mereka meminta banyak: sebuah demokrasi tempat orang-orang, bukan uang, menjadi bermakna. Sekaligus, adanya ekonomi pasar yang mendorong apa yang seharusnya ia dorong.
Kedua hal barusan saling berkait. Sebagaimana kita telah saksikan, pasar bebas membawa kita kepada krisis ekonomi dan politik. Pasar hanya bekerja seperti seharusnya hanya jika ia beroperasi dalam kerangka regulasi pemerintah yang sesuai. Kerangka semacam itu hanya mungkin terwujud di tengah demokrasi yang mempertimbangkan kepentingan umum, bukan kepentingan kaum 1% belaka.
Hari-hari ini, pemerintahan yang berdasar atas uang tak lagi cukup.
Hikayat 3 Pohon Kayu…
Oleh Muhaimin Iqbal | |
Rabu, 09 November 2011 07:23 | |
Seorang petani menanam tiga bibit pohon kayu di halaman rumahnya, disiraminya setiap hari, dipupuknya dan dirawatnya dengan baik seraya berharap akan tingginya nilai pohon kayu ini nantinya. Seperti ‘tiga anak’ petani yang tumbuh dewasa bareng, ketiga pohon ini-pun selalu berbagi suka dan duka. Suatu hari salah satu dari pohon ini mengajak dua ‘saudara’-nya untuk berbagi cita-cita. Pohon yang pertama memulai, dia ingin kelak menjadi kayu yang berserat indah sehingga menarik siapapun yang melihatnya. Dia ingin diukir menjadi kotak perhiasan para raja dan ratu karena keindahannya. Pohon kedua bercita-cita ingin menjadi kayu yang sangat kuat, sehingga para pembuat kapal akan mengambilnya untuk menjadi bahan kapal samudra yang menjelajah dunia. Giliran pohon ketiga berbagi, dia ingin tetap hidup sampai menjadi pohon kayu yang sangat besar dan kuat, dengan daun-daun yang menjulang sehingga bisa mendekati para makluk langit. Ketika mereka baru mencapai separuh usia, si petani membutuhkan halaman rumahnya untuk keperluan lain. Di potong-lah ketiga pohon ini ketika pohon pertama belum berhasil membentuk serat yang indah, pohon kedua belum menjadi kayu yang kuat dan pohon ketiga belum sempat memiliki daun yang menjulang ke langit. Oleh si petani dipotong-potongnya kayu-kayu ini dan ditumpuk di halaman rumahnya. Hancur luluh ‘hati’ ketiga kayu ini karena mereka mengira bahwa semua cita-citanya telah kandas di tengah jalan. Melihat kayu yang hanya dionggokkan di depan rumah, orang-orang yang lewat suka meminta ke petani ini untuk diberi sebagian dari kayu-kayu tersebut. Yang pertama datang adalah seorang tua yang membutuhkan kayu untuk membuat rehal (meja kecil untuk mengaji) bagi anaknya, maka diberinya dia dari bagian kayu pertama. Yang kedua datang seorang nelayan yang membutuhkan sedikit kayu untuk menambal kapal ikannya yang bocor, diberinyalah dia bagian dari kayu kedua. Yang ketiga datang adalah seorang penggali kubur, yang membutuhkan kayu untuk penghalang antara jasad mayat dengan timbunan tanah – maka diberinyalah dia bagian dari kayu ketiga. Semakin sedihlah kayu-kayu tersebut karena bukan hanya dipisahkan dari teman-temannya, mereka juga semakin jauh dari cita-cita semula. Namun sebenarnya kayu-kayu ini tidak perlu bersedih kalau tahu apa yang akan terjadi, Sang Pencipta memiliki rencana yang lebih indah dari apa yang mereka cita-citakan. Kayu yang pertama yang diminta orang tua untuk membuat rehal bagi anaknya tersebut, kelak akan melahirkan anak yang hafal Al-Qur’an dan menjadi ulama besar ketika dewasanya. Posisi rehal yang memiliki kemiringan tertentu, bukan hanya memudahkan anak-anak membaca Al-qur’an tetapi juga memudahkan untuk mengingatnya karena seolah mereka seperti menyusun ayat- demi ayat pada rak-rak yang rapi di otaknya. Kayu yang menjadi rehal ini lebih indah dari sekedar menjadi tempat perhiasan, karena yang ikut ‘disimpan’-nya adalah ayat-ayat Allah yang menancap kuat di otak anak yang mengaji dengan meletakkan Al-Qur’an di rehal tersebut. Kayu yang kedua ketika telah menjadi penambal kapal ikan yang bocor suatu saat dipakai untuk pergi menangkap ikan oleh si nelayan dengan anak laki-lakinya. Dalam perjalanan ombak besar menghantam kapal nelayan yang kecil tersebut dan pecah berkeping-keping. Sang ayah hilang ditelan ombak, sedangkan si anak berpegangan pada sebilah kayu – ya bagian kayu tambalan tersebut – untuk akhirnya selamat terbawa arus ke pantai. Kayu yang menjadi sarana Allah untuk menyelamatkan nyawa anak yang telah menjadi yatim ini, lebih bernilai dari sekedar bagian dari kayu kapal yang menjelajah samudra karena kelak si anak yatim ini menjadi pemimpin umat yang adil dan bijaksana. Adapun kayu yang ketiga yang digunakan untuk menguburkan jenazah, ternyata dia dipakai untuk menguburkan jenazahnya seorang yang sangat soleh – sehingga ketika masih di kubur-pun sudah sering diperlihatkan surga kepadanya. Kayu kuburan ini ikut menjadi saksi akan keindahan surga dan para penghuninya, menjadi kayu kuburan ini lebih indah dari cita-cita semula tumbuh besar dan kuat dengan daun menjulang ke langit. Kita sering frustasi, sedih dan putus asa manakala cita-cita dan keinginan kita tidak terscapai. Kita sedih dan putus asa karena kita sok tahu bahwa seolah yang terbaik itu yang kita cita-citakan atau kita inginkan. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Tahu yang terbaik untuk kita, InsyaAllah kita tidak akan pernah bersedih bila kita yakin bahwa scenario yang lebih indah dari cita-cita dan keinginan kita telah disiapkan olehNya. “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lohmahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS 57 : 22-23). |
Langganan:
Postingan (Atom)