Oleh Muhaimin Iqbal | ||
Jum'at, 11 November 2011 08:36 | ||
Enam tahun lalu ada film terkenal yang berjudul Kingdom of Heaven (2005), yang meskipun dibuat oleh orang diluar Islam – tetapi sedikit banyak menguak kebesaran kepemimpinan Islam dibawah tokohnya Shalahuddin al- Ayyubi. Dalam sejarah Islam sendiri, Shalahuddin memang salah satu tokoh yang amat sangat penting perannya karena dibawah kepemimpinannya-lah Baitul Maqdis kembali ke tangan Islam – setelah lebih dari satu genarasi berada dalam cengkeraman kaum salib . Tetapi seorang Shalahuddin bukanlah pemimpin yang ujug-ujug turun dari langit, dia adalah produk sebuah generasi. Awalnya adalah Al-Ghazzali yang hidup di jaman keterpurukan Islam itu, dia berusia sekitar sekitar 42 tahun ketika Maitul Maqdis ditaklukkan tentara salib. Maka ulama besar yang kemudian disebut sebagai Hujjatul Islam Al- Ghazzali ini men-diagnosa kondisi umat Islam saat itu, mengapa sampai bisa sedemikian terpuruknya sehingga puncaknya dengan mudah bisa ditaklukkan oleh tentara salib. Dia menemukan saat itu umat terpecah belah oleh fanatisme mazhab dan golongan, fungsi ulama berubah yang tadinya guru dan penasihat para penguasa malah menjadi alat politik dan bawahan para penguasa, dan kecintaan pada harta menimbulkan perilaku menyimpang baik cara perolehan maupun penggunaannya. Ini semua yang kemudian menimbulkan kerusakan ekonomi , sosial dan politik – yang kemudian melemahkan dunia Islam secara keseluruhan dalam menghadapi serangan-serangan kaum salib. Menghadapi kerusakan-kerusakan yang meluas saat itu, orang-orang yang tulus ingin menjaga agamanya menempuh berbagai cara. Ada yang kemudian secara pasif mengasingkan diri menjauhi pengaruh buruk dari kerusakan yang meluas; ada yang menjauh dari lingkungan yang penuh syubhat untuk dapat berbenah diri, mengevaluasi pemikiran dan konsepnya, kemudian kembali ke tengah masyarakat untuk melakukan al amr bil ma’ruf wan nahy ‘an al munkar – menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Cara yang kedua inilah yang ditempuh oleh Al-Ghazzali. Al-Ghazzali kemudian berusaha memproduksi generasi baru para ulama dan pendidik (murabbi), melahirkan system baru dalam pendidikan dan pengajaran, menghidupkan misi al amr bil ma’ruf wan nahy ‘an al munkar, mengingatkan pemerintah yang dzalim, menyerukan keadilan sosial, sampai pada memberantas aliran-aliran dan pemikiran sesat yang memang juga sudah ada saat itu. Untuk merealisasikan upaya tersebut Al-Ghazali merumuskan system pendidikan baru yang kemudian diterapkan di madrasahnya. Konsep pendidikan Al-Ghazali inilah yang kemudian diteruskan oleh Syaikh Abdul Qadir al Jilani di Madrasah Al-Qadiriyah – di pusat kota Bagdad yang memfokuskan kegiatannya pada tiga hal. Pertama pada upaya untuk mencetak lulusan yang siap memegang tampuk pimpinan perjuangan Islam dan menyebarkan misi al amr bil ma’ruf wan nahy ‘an al munkar, kedua membangun koordinasi antar madrasah dan ketiga membuat modul , strategi, program pendidikan dan dakwah. Dari upaya penyiapan generasi baru yang panjang melalui madrasah-madrasah tersebut-lah kemudian lahir pemimpin umat Nuruddin Zanki yang kemudian melahirkan ‘anak didik’ Shallahudin Al –Ayyubi. Diperlukan waktu sekitar 90 tahun sejak suatu generasi dipersiapkan, sampai menghasilkan buahnya yang sekaliber Shalahuddin ini. Suatu masa keterpurukan yang panjang yang mendahului lahirnya generasi Shalahuddin tersebut sesungguhnya sangat mirip dengan apa yang kita alami di jaman ini. Kini umat Islam terpecah bukan hanya oleh mazhab, golongan dan aliran; tetapi juga oleh partai-partai. Dampak perpecahan ini berakibat serius pada hubungan politik, sosial, peribadatan dan sampai pula pada ekonomi. Kita menjadi terlalu lemah untuk bisa melawan isu-isu yang seharusnya bisa dihadapi bersama seperti perusakan aqidah, pemurtadan dan penguasaan/penjajahan umat oleh kekuatan di luar Islam baik dibidang poltik, pemikiran, budaya dan tentu yang paling dasyat ekonomi. Sesungguhnya di negeri ini sudah pernah diupayakan perubahan serupa dengan yang dilakukan oleh Al-Ghazzali yang sampai melahirkan generasi Shalahuddin – tetapi dalam tingkatan yang lebih sederhana. Konon sekitar tahun 1500-an Sunan Kudus merumuskan suatu generasi yang hendak dihasilkannya yang disebut generasi Gusjigang – yang artinya berperilaku bagus, pandai mengaji dan pandai pula berdagang. Target pencapaian generasi yang Gusjigang ini pulalah yang menjelaskan antara lain mengapa masjid Kudus berada di dekat pasar. Kalau toh target penyiapan generasi sekwalitas generasi Shalahuddin perlu waktu yang lebih panjang dan effort yang luar biasa dari seluruh komponen umat yang mau bersatu, barangkali kita bisa mulai dengan yang kita bisa di lingkungan kita. Mengajari anak-anak dan remaja di sekitar untuk beraklak bagus, melalui cara mengaji (termasuk pemahaman dan pengamalannya tentu saja), sambil juga diajari berdagang – maka insyaallah perjalanan panjang perbaikan generasi ini akan juga bisa kita mulai, selebihnya kita serahkan kepadaNya, sampai dimana nanti perbaikan ini akan menghasilkan buahnya yang berarti. InsyaAllah… |
Jumat, 11 November 2011
Mencita-citakan Generasi Shalahuddin, Mulai Dari Generasi Gusjigang…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar