Rabu, 09 November 2011

Merebaknya Gelombang Protes

Hari-hari ini, pemerintahan yang berdasar atas uang tak lagi cukup.



Aksi demonstrasi Occupy Wall Street (REUTERS/ Shannon Stapleton)

VIVAnews - Gelombang protes yang bermula di Tunisia pada Januari lalu segera menyambar Mesir dan Spanyol sebelum akhirnya meluas ke seluruh dunia. Demonstrasi di berbagai kota Amerika Serikat, yang dipicu oleh aksi mengeluhkan Wall Street, merupakan salah satu bentuknya.

Globalisasi dan teknologi mutakhir kini memungkinkan gerakan sosial yang mendobrak batas-batas teritorial. Dan di mana pun, protes sosial menemukan lahan subur: suatu perasaan bahwa "sistem" telah gagal serta keyakinan bahwa bahwa di dalam demokrasi proses pemilihan umum (electoral process) takkan memperbaiki keadaan. Setidaknya, jika proses itu tak mendapat tekanan dari demonstran.  

Pada bulan Mei, saya mengunjungi medan protes Tunisia; pada bulan Juli, saya berbincang-bincang dengan massa yang marah di Spanyol; selepas itu, saya menemui para pemuda revolusioner Mesir di Alun-alun Tahrir, Kairo. Beberapa pekan lalu, saya membuka dialog dengan para demonstran gerakan Occupy Wall Street (OWS) di New York.

Ada tema seragam yang diuarkan oleh gerakan OWS. Dan tema itu sederhana: "Kami golongan 99%."

Slogan itu menggaungkan judul sebuah tulisan yang baru saja saya terbitkan: "Dari kaum 1%, untuk kaum 1%, dan oleh kaum 1%." Artikel itu menggambarkan melonjaknya ketimpangan di Amerika Serikat: 1% orang dari total populasi menguasai lebih dari 40% kekayaan negara. Pun, mereka menerima lebih dari 20% pendapatan.

Kalangan atas itu begitu banyak mendulang untung bukan karena mereka lebih banyak berkontribusi terhadap masyarakat. Kekayaan mereka berasal dari keberhasilan mereka memburu rente (rent-seeking). Kerakusan mereka menagih bonus dan dana talangan menjadi bukti.

Kaum 1% itu memang telah banyak berkontribusi bagi masyarakat. Tentu saja, keuntungan sosial yang dituai dari banyak inovasi sejati (dibandingkan dengan "produk-produk" keuangan baru yang pada akhirnya menimbulkan gonjang-ganjing ekonomi secara global) jauh lebih tinggi dari keuntungan yang didapat oleh sang pembuat inovasi.

Tapi, di seluruh dunia, pengaruh politis dan praktik anti-kompetitif (yang biasanya didapatkan lewat lobi-lobi politik) jadi sumber utama ketimpangan ekonomi. Meroketnya tren ketimpangan didukung oleh sistem perpajakan AS yang memungkinkan seorang miliarder seperti Warren Buffet membayar sedikit saja pajak dari yang harus dibayarkan oleh sekretarisnya (dalam persentase pendapatan); atau bahkan memungkinkan para spekulan, yang turut merontokkan ekonomi global, dikenakan pajak lebih kecil daripada kelompok yang bekerja demi keuntungan mereka,

Riset yang dilakukan pada beberapa tahun terakhir membuktikan betapa penting serta berurat-berakar isu tentang keadilan ekonomi. Para demonstran di Spanyol serta di negara-negara lain berhak naik darah: ada sistem yang menyebabkan para bankir diberi talangan sementara golongan yang mereka peras mesti menyelamatkan dirinya sendiri.

Yang lebih buruk lagi adalah para bankir kini telah kembali bekerja serta mendapatkan bonus yang jauh melampaui jumlah yang para pekerja lain harap bisa mereka dapatkan seumur hidupnya.

Di sisi lain, kaum muda yang belajar keras dan mengikuti aturan umum terancam takkan memiliki pekerjaan.

Meningkatnya ketimpangan adalah produk dari sebuah lingkaran setan: para pemburu rente yang kaya-raya menggunakan kekayaannya untuk memengaruhi kebijakan demi melindungi dan mendongkrak kekayaan serta pengaruh mereka.

Mahkamah Agung AS, dalam keputusan Citizens United, memberi kebebasan pada korporasi untuk menggunakan uang mereka dalam menyetir arah politik. Namun, sementara si kaya dapat menggunakan uangnya untuk meluaskan pandangan mereka, polisi tak mengizinkan saya berorasi di hadapan para demonstran gerakan OWS melalui megaphone.

Kontras antara demokrasi yang terlalu penuh aturan dan para bankir yang tak ditimpakan aturan terasa nyata. Tapi, para demonstran tetap cerdas. Mereka langsung menirukan perkataan saya, dan menggemakannya lewat kerumunan. Hasilnya, semua orang bisa mendengar. Demi menghindari interupsi tepukan tangan, mereka menggunakan isyarat tangan untuk menunjukkan dukungan.

Mereka benar ketika merasa bahwa ada yang salah dalam "sistem" kita. Di seluruh dunia, kita tak mampu mengelola sumber daya sepenuhnya - orang-orang yang menginginkan pekerjaan, mesin yang tak bekerja, bangunan-bangunan kosong - serta banyaknya kebutuhan yang tak terpenuhi: pemberantasan kemiskinan, pengembangan perekonomian, penyesuaian ekonomi demi menghindari pemanasan global, untuk menyebut beberapa saja.

Di Amerika Serikat, setelah tujuh juta rumah disita, kini jumlah rumah kosong dan tuna wisma sungguh berlimpah.

Para demonstran mendapat kritik karena dianggap tak memiliki agenda. Tapi, kritik itu tak menangkap esensi dari gelombang protes. Para demonstran adalah ekspresi frustasi proses pemilihan umum. Mereka menjelma tanda bahaya. 

Protes anti-globalisasi yang dilangsungkan di Seattle pada tahun 1999 melayangkan kritik terhadap kegagalan globalisasi dan institusi internasional serta segala persetujuan yang melanggengkannya. Ketika media menilik lebih jauh kritik para demonstran, mereka menemukan secercah kebenaran.

Ada perbedaan selanjutnya terlihat dalam perjanjian-perjanjian dagang yang terjadi kemudian. Negosiasi-negosiasi itu memang ditujukan sebagai babak lanjutan demi merapikan cacat yang dikemukakan oleh para demonstran. Dana Moneter Internasional (IMF) lantas mengupayakan perbaikan-perbaikan berarti.

Di AS pula para demonstran hak-hak sipil pada tahun 1960an menyoroti rasisme yang begitu menjalar dan melembaga di tengah masyarakat AS. Warisan atas rasisme itu masih belum bisa ditanggulangi sampai sekarang. Tapi, setidaknya, terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden AS menunjukkan berapa jauh efek protes memengaruhi bangsa Amerika.

Pada taraf tertentu, kini tuntutan para demonstran tak seberapa: peluang menggunakan keahlian mereka, hak memiliki pekerjaan dan upah layak, serta masyarakat dan ekonomi yang adil. Harapan mereka sifatnya evolusi, bukan revolusi.

Namun, pada taraf lain, mereka meminta banyak: sebuah demokrasi tempat orang-orang, bukan uang, menjadi bermakna. Sekaligus, adanya ekonomi pasar yang mendorong apa yang seharusnya ia dorong.

Kedua hal barusan saling berkait. Sebagaimana kita telah saksikan, pasar bebas membawa kita kepada krisis ekonomi dan politik. Pasar hanya bekerja seperti seharusnya hanya jika ia beroperasi dalam kerangka regulasi pemerintah yang sesuai. Kerangka semacam itu hanya mungkin terwujud di tengah demokrasi yang mempertimbangkan kepentingan umum, bukan kepentingan kaum 1% belaka.

Hari-hari ini, pemerintahan yang berdasar atas uang tak lagi cukup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar